Kamis, 27 Februari 2014

FERRY SONNEVILLE


Nama               : Ferdinand Alexander “Ferry” Sonneville 
TTL                 : Jakarta, 3 Juni 1931
Cabang            : Bulutangkis
Prestasi           : - Juara Malaysia Terbuka 1955
-   Finalis All England bersamma Tan Joe Hok
-   Kapten bermain tim Indonesia yang merebut Piala Thomas 1958
-   Anggota tim Piala Thomas Indonesia 1961, 1964, 1967
-   Presiden IBF 1971-1974

                Prestasi terbesar itu akhirnya digenggam juga. Bukan sebagai juara di lapangan bulutangkis, melainkan di bidang organisasi dunia : menjadi presiden organisasi internasional. Dialah Ferdinand Alexander “Ferry Sonneville”. Prestasi ini belum dicapai atlet Indonesia manapun. Ferry Sonneville menjadi Presiden Federasi Bulu Tangkis Internasional (Internasional Badminton Federation, IBF) dari tahun 1971 sampai 1974. Tokoh Indonesia lain yang mendekati posisi itu antara lain Sudirman, Suharso Suhandinata, atau Rudy Hartono yang menjadi wakil presiden IBF.
                Tentu bukan tanpa alasan mengapa Ferry ditunjuk menjadi presiden oganisasi yang besar seperti IBF. Ia tokoh internasional yang bukan saja sukses sebagai pemain tapi juga dalam bidang studi. Sebagai pemain dia empat kali memperkuat tim Indonesia dalam kontes Piala Thomas, kejuaraan beregu putra. Tahun 1958 dia menjadi tulang punggung karena dia yang dianggap paling memahmi percaturan bulu tangkis dunia. Begitu juga tahun 1961 dan 1964. Tahun 1967 pada usianya di atas 30 tahun, dia masih mencoba memnjadi tulang punggung, tetapi gagal.
                Pada tahun 1958 berkat perlawatannya ke berbagai negara, terutama Malaya (kini Malaysia dan Singapura), dia menjadi kapten bermain pada babak interzone di Singapura. Ia berangkat ke Singapura atas bantuan masyarakat. Dua kali melawan Denmark di semifinal antarzone dan menhadapi Thailand di final antarzone –sebelum melawan Malaysia di babak penantang (Challenge Round), Ferry menunjukkan kualitas permainannya. Dia memang kalah atas Finn Koberro, tetapi bisa menang atas Erland Kops ketika berhadapan dengan Denmark. Indonesia menang 6-3 atas Denmark ini.
                Ketika turun melawan Thailand, Ferry memenangi kedua partai tunggalnya. Pada saat menantang Malaysia, Ferry punya peran besar. Dialah yang menentukan kemenangan 5-1 atas Malaya setelah mengungguli Teh Kew San dengan 13-15,15-13,18-16. Partai ini benar-benar menegangkan. jika Ferry kalah posisi bisa menjadi 4-2, tetapi jika menang menjadi 5-1 alias Indonesia merebut piala itu dari Malaya. Pertandingan set ketiga yang menegangkan. Teh Kew San semat memimpin 13-11 tetapi disamakan 13-13 oleh Ferry.
                Kematangan mental Ferry membawanya kepada keunggulan atas Kew San yang lebih muda. Piala pun di boyong ke tanah air. Ferry main dua kali di tunggal dan dua di ganda bersama Tan Joe Hok. Ada perubahan susunan memang ketika merebut piala itu. Enam tahun kemudian pada kontes Piala Thomas di Tokyo 1964 Ferry juga berperan besar untuk mempertahankan piala tersebut. Dari tangannya direbut kemenangan penting, yang membawa Indonesia unggul atas Denmark 5-4.
                Ferry jugalah yang merintis keikutsertaan pemain Indonesia di kkejuaraan perseorangan All England. Tahun 1955 Ferry meneruskan pelajaran di Economische Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterrdam, Belanda. Meski merantau ke negara yang bulu tangkisnnya tidak populer tetap saja Ferry melakukan olahraga kegemarannya. Dengan demikian,  ia pun bisa ikut kejuaraan All England tahun berikutnya, meski prestasinya tidak terlalumencuat.
                Tahun pertama 1956 masuk babak kedua da tahun kedua hanya bertanding sekali. Tahun ketiga, 1958 dia di semifinal, saat di kalahkan Finn Koberro. Barulah tahun keempat, 1959, Ferry sampai ke final. Namun dia gagal menjadi juara karena dikalahkan sendiri oleh rekannya yan datang dari Indonesia, Tan Joe Hok. Ferry masih ikut All England sampai 1963, dengan tetap tak mencapai puncak tangga kejuaraan.
                Kontes Piala Thomas tahun 1967 di Jakarta, dia sudah berusia 36 tahun, merupakan penampilan terakhir di arena pertandingan. Ferry kemudian memusatkan diri pada bisnis real estate dan menjadi ketua organisasi Real Estate Indonesia (REI), bahkan menjadi Presiden tingkat dunia organisasi itu. Dia pun aktif di organisasi olahraga tertinggi Indonesia, KONI. Jabatan yang dipegangnya adalah bendahara (1967-1971) dan Ketua Bidang Luar Negeri (1971-1975). Dalam posisis ini dia menjadi Presiden IBF.
                Ferry berasal dari keluarga yang menggermari olahraga. Ayahnya, Dirk Jan Sonneville, jago tennis, dan ibunya, Lenoij Elisabeth Hubeek, kampiun bulu tangkis sebelum Perang Dunia II. Ferry pun sering diajak bapak atau ibunya ketempat mereka berlatih. Ini berakibat Ferry menyukai dan piawai dalam kedua cabang olahraga itu.
                Dalam bulu tangkis kita sudah tahu prestasinya, sementara dalam tenis dia tidak memacu untuk prestasi. Sekedar hobi, yang dilakukan sampai usia lanjut. Selain kedua cabang itu, Ferry jjugaaktif dalam jui jitsu,olahraga beladiri asal Jepang. Di cabang ini sebelum usia 20 tahun dia sudah menjadi pelatih. “Anak didik” Ferry untuk cabang ini banyak yang menjadi tokoh. Mereka antara lain Ahmad Bakrie, ayahanda Aburizal Bakrie, R. Oetomo (Marsekal TNI-AU, mantan KSAU), dan Faisal Abda’oe (mantan DIRUT Pertamina).
                Dari pernikahannya dengan Yvonne Theresia de Wit, Ferry menurunkan tiga anak. Anak laki-lakinya meninggal tahun 1976 di London dan dua anak peempuannya tidak ada yang terjun ke olahraga. Genia Theresia menjadi pendidik dengan mendirikan sekolah bagi kanak-kanak, Sekolah Montessori, sementara yang ketiga Cynthia Gwendolyn, menjadi pengusaha dan aktif organisasi. Ferry sendiri sudah tidak bisa kita temui lagi. Akibat sakit yang lama, dia meninggalkan kita semua pada tanggal 20 November 2003.

TAUFIK HIDAYAT


Nama               : Taufik Hidayat
TTL                 : Bandung, 10 Agustus 1981
Cabang            : Bulutangkis
Prestasi            : - Juara Jerman Yunior 1997
-   Juara Asia Yunior 1997
-   Juara Brunei Terbuka 1998
-   Finalis All England 1999, 2000
-   Juara Perorangan Asian Games 1998 dan 2002
-   Juara Indonesia Terbuka 1999, 2000, 2002, 2003, 2004
-   Juara Piala Asia 1999
-   Juara Malaysia Open 2000
-   Juara Asia 2000, 2004
-   Juara Singapura Terbuka 2001
-   Juara Taiwan Terbuka 2002
-   Juara Olimpiade 2004
-   Tim  Thomas Cup 1998-2004
-   Tim Sudirman Cup 1999-2005

                Inilah batu mulia yang awalnya diasah dengan cermat oleh Lie Sumirat (pemain legendaris dengan pukulan “aneh”). Taufik Hidayat melesat bak meteor. Sekalipun karirnya diwarnai banyak kontroversi, karena karakternya memang kuat, Taufik Hidayat adalah bukti terkini dari talenta istimewa bulu tangkis yang dimiliki Indonesia. Pemain yang mulanya “ditemukan” dan dibina di salah satu nama besar yang memiliki pukulan istimewa Lie Sumirat di Bandung itu sudah masuk pusat latihan pebulu tangkis elite Indonesia di Pelatnas Cipayung saat baru berusia 15 tahun.
                Belum genap 18  tahun pada tahun 1999, Taufik menyedot seluruh perhatian pecinta dan pengamat bulu tangkis nasional dengan kemampuannya mencapai final kejuaraan peroranngan yang sangat prestisius, All England. Pada debut internasionalnya itu,Taufik langsung menyiram kembali harapan bakal tampilnya tunggal putra Indonesia sebagai Juara All England.
                Sudah lima tahun pemain Indonesia tidak ada yang mampu menjuarai turnamen akbar itu. Juara All England terakhir dari Indonesia adalah Hariyanto Arbi, yaitu pada tahun 1994. Hariyanto juga yang terakhir kali mencapai final setahun setelah itu hingga Taufik menembusnya di tahun 1999. Sayang, Taufik takluk di tangan Peter Gade Christensen (Denmark), pemain yang kemudian menjadi salah satu musuh besarnya dengan skor pertemuan 4-7 hingga Piala Sudirman tahun 2005.
                Setahun kemudian, Taufik Hidayat kembali mencapai final All England meski kembali gagal menajdi juara, kalah dari Xia Xuanze dari China. Meski hingga tahun 2004 Taufikbelum pernah memenangi kejuaraan-kejuaraan prestisius seperti All England dan kejuaraan Dunia, dia menebusnya dengan meraih medali Emas Olimpiade tahun 2004 di Athena dengan membabat pemain-pemain terbaik dunia.
                Tak dapat dipungkiri Taufik adalah salah satu tunggal putra yang paling ditakuti lawan. Taufik memiliki smes loncat yang tajam, drive yang cepat yang mengisi reli jarak depan yang rapat, pukulan backhand yang tajam dan tak terduga, dan gerak kaki serta reaksi tubuh yang efisien.
                Predikat paling ditakuti itu setidaknya terbukti pada babak penyisihan Piala Thomas, Mei tahun 2002 di Guangzhou. Indonesia tengah menghadapi Thailand dan Taufik turun di partai ketiga. Saat dia memasuki lapangan, seluruh pemain tunggal China yang berada di grup penyisihan berbeda dan sedang tidak bertanding, datang menonton di tribun yang tepat menghadap lapangan yang dipakai Taufik. Mereka membawa handycam ditemani oleh Tong Sinfu dan sejumlah pelatih lainnya. Begitu Taufik menyelesaikan pertandingannya, rombongan tim China bubar. Mereka datang khusus untuk mengamati permainan Taufik.
                Seperti judul biografinya, Taufik harus diakui adalah sebuah magnet yang menyedot perhatian, baik bagi aksinya di lapangan, kontroversi yang dia buat di luar arena, ataupun pernyataan-pernyataannya. Di satu sisi, prestasi dan kualitas permainan membuat dirinya menjadi idola pecinta bulu tangkis seluruh dunia. Di sisi lain, sifatnya yang “hitam-putih” beberapa kali membuat Taufik memicu sejumlah keributan.
                Pada Kejuaraan Nasional tahun 2001 di Jakarta, Taufik terlibat pertengkaran yang panas dengan sejumlah penonton. Insiden itu bermula dari reaksi Taufik terhadap teriakan salah satu penonton ysng meneriakinya dengan kata-kata kasar. Setahun kemudian dalam Kejuaraan Nasional ahun 2002 di Bandung, Kembali Taufik terlibat perselisihan yang berakibat pada perkelahian massal di GOR Jalan Jakarta. Taufik juga dua kali terlibat pertengkaran di jalan. Di sela-sela Kejuaraan Asia  tahun 2003 di Jakarta, Taufik melaporkan ke polisi aksi sekelompok pemuda yang mengeroyok dirinya dan ayahnya, Aris Haris setelah mobilnya nyaris tertabrak.
                Tahun 2004 di sela-sela tugasnya memperkuat tim Piala Thomas di Senayan, ganti dirinya yang diadukan ke polisi menyusul insiden ditabraknya mobil Taufik di depan pintu gerbang kompleks Gelora Bung Karno. Terlepas dari beberapa sikapnya yang tidak taktis di atas, Taufik sesungguhnya adalah atlet yang piawai dalam berkomunikasi dengan publik, satu kemampuan peting yang sayangnya jarang dimiliki atlet-atlet Indonesia.
                Usai meraih emas Asian Games tahun 2002 di Busan, Korea Selatan, Taufik langsung menegaskan, kemenangan yang diraihnya dia persembahkan bagi para korban aksi terorisme Bom Bali dan mengecam para pelaku serangan terorisme tersebut. Sehari sebelum partai final yang dia jalani melawan Lee Hyun-il dari Korea, masyarakat dunia memang terhenyak dengan ledakan bom yang memporak-porandakan beberapa tempat hiburan yang di kunjungi turis di Jalan Legita Kuta.

J.E.W Gozal : Lari Dengan Waktu 10,3 detik di Chicago


Nama                                 : Johans Edward Willem Gozal
Nama Panggilan                : Jotje
TTL                                   : Pontianak, 16 Maret 1936
Cabang Olahraga               : Atletik
Prestasi Terbaik                  : Pemegang Rekornas 10,4 detik untuk 100 meter

                Namanya Tidak setenar Mohammd Sarengat, meskipun dia pemenang rekor bersama menurut catatan PB PASI 100 meter dengan 10,4 detik. Sarengatlah yang punya nama, meski rekor Gozal dicatat lebih dulu, setahun sebelum Sarengat berlomba di Asia. Namun, J.E.W Gozal tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Usia 21 tahun sebagai masa rekor 100 meter bertahan katanya juga keliru. Seharusnya 22 tahun.
                Gozal mempertajam rekor itu pada kejuaraan atletik Pancanegara di stadion Ikada, Jakarta. “Waktu itu Bill Miller, seorang pelatih dari AS, buru-buru membuat lintasan rumput, karena gagal membuat litasan tanah liat,” kata Gozal, kini Wakil Ketua Bidang Litbang KONI Pusat. Dia menjadi juara lomba 100 meter itu, antara lan mengalahkan Jegathesan dari Malaysia.
                Memang menjadi pertanyaan, mengapa sebuah rekor bisa “disamakan” dan pemegangnya dua orang, jika rekor lama ditumbangkan. Catatan waktu dengan manual memang memungkinkan pencatatan yang tidak detail (tidak ada perseratus detik) sehingga semua catatan hanya dalam persepuluh detik. Akibatnya, hitungan dua angka dibelakang koma tidak pernah disebut. Bisa jadi 10,44 detik menjadi 10, 4 saja, atau 10,41 detik juga dijadikan 10,4 detik saja.
                Gozal sendiri tidak memperdukikan hal itu. Sama tidak perdulinya dengan prestasi 10,3 detik yang dicapainya di Chicago, Amerika Serikat, yang seharusnya menjadi rekor nasional. Bagaimana kisah tentang hal ini? Tahun 1963 setelah Asian Games, dan menjelang Ganefo, Gozal mendapat beasiswa dari Project Hope untuk belajar kepelatihan sambil ikut bertanding di Amerika Serikat (peserta boleh memilih). Salah satu event di Chocago yang Gozal pilih adalah Chicago Relay.
                Dia memilih event ini karena disitu juga berlari Ira Murchisan, salah satu pelari terbaik dunia saat itu, yang ytahun 1956 sudah mencat waktu 10,1 detik. Gozal turun berlomba di 100 meter dan mencatat waktu 10,3 detik. “Peserta hanya lari satu kali,” kata Gozal. Ketika kembali setelah empat bulan disana , ditunjukkan buletin yang memuat hasil-hasil Chicago Relay itu dan disitu memang terpampang nama Gozal.
                Namun, PB PASI menolak mengesahkan rekor tersebut. PASI meminta hasil resmi pertandingan yang tidak mungkin dibawa oleh Gozal. Akibatnya, rekornas tetap atas nama dirinya dan Sarengat. Tetap 10,4 detik. Pada Asian Games 1962, Gozal tidak berprestasi baik karena satu setengah bulan sebelunya dia cidera kaki dalam duel-meet dengan Australia.
                Gozal mulai terju ke dunia atletik ketika masuk Sekolah Guru Pendidikan Jasmani (SGPD) pada tahun 1953 di Surabaya. Sebenarnya tujuannya ke Surabaya adalah untuk masuk menjadi anggota Angkatan Laut.
                Akan tetapi, ayahandanya, Berends Gozal, melarangnya. Ia pun kemudian masuk sekolah guru khusus pendidikan jasmani ini. Di SGPD mulailah dia berkenalan dengan berbagai nonor atletik. Mula-mula dia terjun di nomor jarak menengah, lalu makin pendek dan makin pendek. Tadinya 800 meter lalu 400 meter kemudian 200 meter dan 100 meter.
                Karena prestasinya yang bagus ada 200 meter, Gozal dipilih masuk pelatnas Olimpiade Melbourne 1956. Setelah seleknas di Yoyakarta, tinggal dia sendirian. Dia pun dilatih oleh Askar Djundjunan dan kemudian bertolak ke Melbourne bersama dua peloncat tinggi, yaitu Maridjo dan Okamona. Namun Gozal hanya berlomba di babak pertama, tidak masuk babak selanjutnya.
                Menjelang Asian Games Tokyo 1958, Gozal bersiap lagi. Namun, pelatih Askar tidak membawanya kesana. Karena tidak dibawa, Gozal memutuskan menjauhi atletik. Dia kembali ke Surabaya dan lebih banyak main hiki bersama tim Jatim. Ketika ada seleksi untuk Olimpiade Roma 1960, Gozal ternyata dipanggil lagi. Dia berlatih bersama Sarengat, Martin Sondakh, dan Awang Papilaya. “Sarengat untuk lompat jauh dan dasalomba,” kata Gozal.
                Gozal berangkat ke Roma dan seperti di Melbourne hanya sampai babak pertama dengan catatan waktu 10,7 detik. Sepulang dari melawat ke AS dalam rangka Project Hope, Gozal masuk Angkatan Laut dan diterima dengan pangkat Letnan dua. Tanpa diduga, dia dipanggil lagimasuk pelatnas untuk persiapan menghadapi Olimpiade Tokyo 1964. Dia terpilih menjadi pelari jarak pendek bersama Sarengat, Jotje Oroh, dan Awang Papiliya.
                “Kami kemudian diberangkatkan ke Tokyo dengan pesawat Boeing 909 Garuda Indonesia,” kisah Gozal lagi. Rombongan pertama ini terdiri dari 60 orang. Tugasnya menjajaki sejauh mana penerimaan panitia dan Komite Olimpiade Internasional (IOC) terhadap atlet Indonesia. Rombongan besar lainnya di Jakarta agarsewaktu-waktu isa langsung berangkat. Namun ternyata rombongan pertama tidak diterima oleh panitia dan IOC karena Indonesia menyelenggaraka Ganefo tahun 1963. Akibatnya, keingina tiga kali ikut Olimpiade tidak terlaksana. Semail Melbourne da Roma, Gozal juga ikut Universiade di Sofia, Bulgaria, pada tahun 1963.

CAROLINA RIEUWPASSA


Nama                          : Carolina Rieuwpassa
Nama Panggilan         : Nina
TTL                            : Makasar, 7 Februari 1949
Cabang Olahraga       : Atletik
Prestasi Terbaik          : - Medali emas Sea Games IX 1972
-   Pemegang Rekor  100, 200, 400, 4 x 100 meter dan estafet 4 x 100 meter
-   Medali Perak 100 meter Kejuaraan Asia 1973 di Seoul
-   Medali Perak 100 meter kejuaraan Asia 1975 di Manila
-   Medali Emas PON 1969, 1973, dan 1977
-   Medali Emas Kejurnas 1971 - 1978

                Di Indonesia ada satu atlet yang melebihi atlet ternama dalam hal rekor. Dia asalah Carolina Rieuwpassa. Prestasinya tak kalah dengan atlet-atlet kelas dunia. Carl Lewis dari Amerika Serikat, misalnya, pernah memegang rekor 100 meter dan 4 x 100 meter. Dia jugapernah merebut empat medali emas Olimpiade pada 100 meter, 200 meter, 400 meter, dan 4 x 100 meter. Hanya saja, Lewis tidak pernah sekaligus memegang dua rekor. Meski pelari jarak pendek, dia tidak pernah mengukir rekor 200 meter.
                Begitu pula dengan atlet Italia, Pietro Mennea sukses menancapkan rekor nomor itu untuk waktu yang lama termasuk ketika Lewis sudah pensiun. Namun rekor Carolina Rieuwpassa mampu melebihi Lewis. Perempuan kelahiran Makassar 7 Februari 1949 ini mengukir rekor pada limma nomor : 100 meter, 200 meter, 400 meter, dan dua nomor estafet 4 x 100 meter, dan 4 x 100 meter.
                Semuanya bertahan lebih dari lima tahun, atau bertahan sebentar lalu dipecahkannya sendiri. Ada satu nomor yang tak seorang pun sanggup menumbangkannya sampai bertahan 18 tahun! Carolina biasa dipanggil Nina mengukir rekor pertamanya pada 200 meter. Ini terjadi tahun 1970 ketika dia disiapkan mengikuti Universiade di Torino, Italia. Ia mencatat waktu 25,4 detik, menghempaskan rekor lama 25,5 detik atas nama Fabanjo. Setelah itu rekor 200 meter ini terus dia perbaiki.
                Terkhir dia mengukir 24,21 detik, yang kemudian ditumbangkan Henny Maspaitella. Satelah 200 meter ini dia merambah ke nomor-nomor lain. Nomor paling bergengsi 100 meter dilabraknya tahun 1972 ketika berlatih di Jerman Barat menjelang Olimpiade Muenchen. Yang terakhir 400 meter. Seperti nomor-nomor lain, pada nomor ini pun Carolina tak hanya sekali memecahkannya. Yang terkhir waktunya 56,0 detik. Bersama yang lain dia mengukir rekor estafet 4 x 100 meter dan 4 x 100 meter. Kini namanya sudah tidak tercantum lagi. Untuk 100 meter dan 200 meter sudah berganti nama Irene Joseph, sementara 400 meter masih dipegang Emma Tahapary.
                Nomor “barengan” sudah juga dimiliki nama lain. Carolina juga memperoleh beragam medali, dari tingkat nasional sampai regional. Tahun 1970, pada Asian Games Bangkok Asian Games yang diikutinya setelah tahun 1966 di kota yang sama dia memperoleh dua medali perunggu pada 100 meter dan 200 meter. Lalu pada Kejuaraan Asia di Seoul, Kore Selatan dia memperoleh medali perak 100 meter, di bawah pelari Israel, Esther Roth.
                Waktu yang dicapainya 12,00 detik. Dia masih mengikuti kejuaraan serupa tahun 1973 di Manila, tetapi tidak membawa pilang medali. Pengalaman Carolina tentu saja istimewa. Selain tingkat Asia dia juga ikut tingkat dunia. Dua kali dia berlomba di Olimpiade, saat berlangsung di Muenchen 1972 dan Montreal 1976. Pada kedua keikutsertaannya, dia enimba pengalaman banyak, meski tanpa medali.
                “Yang di Muenchen merupakan pengalaman sangat berharga bagi saya,” katanya.
                Dia ikut pekan Olahraga terbesar dunia itu berkat keuletannya yang tekadnya yang besar. Saat itu dia berlatih di Jerman Barat (waktu itu masih terpisah dari Jerman Timur) dan harusnya tidak perlu bersusah payah sendiri untuk ikut Olimpiade. Ternyata, dia harus berusaha sendiri untuk ikut serta. Beruntung pelatihnya, Rolf van de Leage bisa memasukkannya sebagai peserta.
                “Tetapi Tony tidak bisa masuk asrama, sehingga tidak mendapat jatah makanan. Saya yang kadang-kadang bawakan makanan jatah dari asrama,” kenang Nina. Tony Yogyahartono adalah rekannya berlatih di Jerman.
                Saat bertanding, Nina memeakai pakaian “lama”. Para official juga lebih memperhatikan atlet lain antara lain peloncat indah Myrna Hardjolukito. Kalau dia yang berlomba, tiada official yang mendampingi.
                “Semua orang menyaksikan pertandingan atlet lain dari kontingen kita. Saya ya berangkat dan bersiap sendirian,” kenangnya.
                Carolina berasal dari keluarga yang suka olahraga. Sejak anak-anak, dan saudara kembarnya, Suzanna Nanlohy menyukai berbagai macam olahraga. Sampai akhirnya terjun ke atletik. Tahun 1965 dia ikut kejuaraan Nasional POPSI (Persatuan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia) di Jakarta, lalu ikut kejuaaraan kawasan Indonesia Timur, waktu itu biasa disebut Iramasuka (Irian, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan) dan berprestasi gemilang. Sukses ini mengantarnya terpilih ikiu Asian Games Bangkok 1966.
                Mulailah dia beredar di tingkat nasional dan ini mengantarnya pindah ke Jakarta. Rekor-rekor ditumbangkannya. Medali-medali emas direbutnya. ”Jumlahnya tak terhitung,” katanya.