Sempat Tidur Setelah Asian Games 1962

Atletik dikembangkan di  indonesia oleh pemerintah penjajah Belanda pada tahun 1930-an melalui jalur sekolah. Pihak militer juga mengembangkan cabang olahraga ini di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Kelahiran klub-klub atletik menyertai perkrnalan masyarakat dengan cabang olahraga yang mengutamakan lari, lompat, dan lempar ini.

Nama-nama “pribumi” yang kemudian melejit pada masa sebelum kemerdekaan antara lain Haroen Alrasjid (Semarang, lonccat tinggi 1,85 meter), Soedarpo, Sidik Moeljono, Dundjunan, Adam Saleh (Yogyakarta), Azis Saleh (Jakarta). Di kota-kota lain juga muncul atlet-atlet berbakat. Kejuaraan-kejuaraan atlrtik juga berjalan teratur, apalagi setelah para pejuang kemerdekaan mulai mempergunakan olahraga sebagai cara menggalang kekuatan. Maka lahirlah organisasi-organisasi seperti PSSI (sepakbola), Pelti (tenis), dan PBI (bola keranjang).

Saat itu para atlet atletik yang sudah memiliki penggemar tergabung dalam ISI (Ikata Sport Indonesia). Baru setelah kemerdekaan berdiri Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI). Pembentukan atau kongres pertama atletik Indonesia ini berlangsung di Semarang bersamaan dengan kongres PSSI. Seecara resmmi PASI berdiri pada 3 September 1950. Atlet pertama PASI yang turut di ajang olimpiade adalah Sudarmodjo, yang tampil di nomor loncat tinggi pada olimpiade Helsinki 1952. Dia meloncat 1,80 meter dan menempati urutan ke-20 dari 34 negara.

Setahun sebelumnya sudarmodjo tamppil di Asian Games I 1951 di New Delhi. Dia pergi bersama Hendarsin, AF Matulessy, Jopie Timisela, liem Ying Lan, Lie Sia Hie, Gde Oka, J. Serhalawan, Tetelepta, A. Rivai, Ndaliph Singh, Mali Sunardi (putra), serta Annie Salamun, Lie Djiang Nio, Triwoelan, Darwati, dan Soerjowati (putri). Mereka pulang  membawa lima medali perunggu. Sudarmodjo digantikan Maridjo dan Okamona (loncat tinggi)pada Olimpiade 1956 di Melbourne. Bersama mereka terjun juga JEW Gozal (lari 100 meter). Hasilnya Maridjo meloncat 1,90 meter, Okamona 1,87 meter, dan Gozal mencapai finish dalam waktu 10,8 detik. Gozal kemudian menjadi satu-satunya atlet atletik yang terjun di Olimpiade Roma 1960.

Asian Games Jakarta 1962 merupakan kebangkitan atletik Indonesia.vdenag dua peltih asing, Tom Rossandich dan Billi Miller, atlet-atlet Indonesia unjuk gigi dan merebut dua medali emas dari seluruhnya 11 emas dan ikut membawa Indonesia merebut posisi ke-2 setelah Jepang. Mohammad Sarengat, Awang Papilaya, Jotje Oroh, JEW Gozal, Gurnam Singh mencatat prestasi tinggi. Setelah Asian Games, atletik Indonesia tertidur lagi. Rekor-rekor lebih banyak bertahan. Bahkan ada yang bertahan lebih dari 20 tahun.

Barulah tahun 1970-an geliat atletik dirasakan lagi, terutama sejak hadirnya Bob Hasan sebagai Ketua Umum PB PASI yang identiik dengan kantong tebal. Rekor-rekor nasional mulai bertumbangan denagn puncaknya awal 1980-an ketika rekor nasional “berrsama” Sarengat dan Gozal pada lari 100 meter (10,4 detik) dipecahkan oleh Purnomo dengan 10,39 detik. Lalu dipertajam lagi menjadi 10,33 dan 10,32 detik. Mardi Lestari mempertajam lagi menjadi 10,20 detik. Rekor tahun 1983 ini bertahan sampai sekarang. Baik Purnomo maupun Mardi Lestari mencuatkan nama Indonesia di olimpiade. Keduanya masuk semifinal 100 meter olimpiade, meski kemudian tidak memperoleh medali apapun di final.

Di kelompok putri, Carolina Reuwpassa mengawali sukses dengan menumbangkan rekor-rekor nasiaonal lari jarak pendek dari 100 sampai 400 meter. Dia pernah mengukir rekor nasional pada lima nomor sekaligus. Nama-nama Henny Maspaitella, Emma Tahapari, Irene Truitje joseph untuk jarak pendek, kemudian Lelyanna Tjandrawijaya, Starlet, Esther Sumah, Sarmiati, kemudian Supriati Sutono memberi andil pada prestasi jarak menengah.

Caroline sempat merebut medali perak pada kejuaraan Asia di Seoul lalu di Manila. Dia juga ikut Olimpiade Muenchen 1972. Kini nomor-nomor lapangan juga mulai diterjuni dengan serius para atlet indonesia. Semoga saja ada yang lebih melejit pada semua nomor atletik.